Sunday 28 December 2014

Lucky Ibrahim


Jauh hari Lucky menghubungi saya via akun LINE®-nya. 
"Mas Esha, Desember saya ke Bali ya?". "Siap, Lucky" sahut saya.

Desember tiba, tepat di malam Galungan saya terlelap setelah menghadapi deadline, Lucky tiba di depan rumah. Dan kenapa saya mewawancarai Lucky? Karena Lucky adalah teman saya yang saya jumpai setahun yang lalu di Reka Baru Desain Indonesia. Di usia 22 tahun, karyanya diakui negara bersama 20 peserta lainnya, termasuk saya.

Setelah saya antar dan get lost dengan sendirinya di Bali, (tentunya dengan brainwash dari saya tentang Bali kini, dan potensi SDM-nya) berikut adalah selayang pandang kami tentang potensi lokal Bali dari sudut pandang anak ibukota — secara sangat mendadak.

Ingat: ini hanya selayang pandang, bukan untuk dibanding-bandingkan.

Siap? Yak!

Lucky




Apa kabar, Lucky?
Saya jadi malu mas. (Tertawa) baik dan segar.

Good! Bagaimana Jakarta?
Sibuk dan penuh.

Maksudnya?
Kan menggambarkan Jakarta. Gitu sih.

Gimana liburan kemarin? Setelah London dan Phuket, kenapa pilih Bali?
Pengen ngerasain dan ngebandingin antara luar (negeri), Jakarta, dan daerah (lain Indonesia) tradisional. Kalo jujur sih, saya takut.

Takut? Kenapa?
(Takut kalau Indonesia) kemakan dunia milenium, mas. Haha.
Pengen ke bawah, maksudnya pengen liat potensi lokal.

Setelah Lucky get lost. Apa sih menariknya Bali?
Alam dan SDM (yang sebenernya) bisa lebih maju dari sekarang.
Soalnya di Bali orangnya ramah, dan perhatian, beda sama ibu kota.
Apalagi waktu di Ubud. Berasa banget itu, mas.

Lebih excited di Jakarta atau Bali, boleh dibandingin?
Saya bilang jangan dibandingin sih.
Masing-masing punya arah sendiri, mas.

Kalau spesialnya Bali dari pola pikir orang kreatif? 
Hmmm, aroma, suasana, dan kultur.

Aroma?
Iya, aroma. Pas masuk Bali aroma beda.
Mungkin karena canang atau… nggak ada polusi?

Bali itu open minded, mungkin karena ketemunya sama mas Esha, dan teman-teman.
Mungkin juga karena denger dari mas Esha, Bali bisa dinyatakan sudah kemakan zaman, kayak Pandawa yang mulai rusak.

Ada lagi?
Ubud.
Saya jalan, lewat, hmmm, ambient luar terhadap saya itu beda.
Sebentar nyari kata yang pas… (mikir)

Harmonis?
Iya, harmonis.

Terbuai untuk nyaman?
Terbuai.

Nggak bahaya tuh?
Bahaya tapi ada baiknya, nanti pas balik ke ibukota saya akan rindu ke sini.
Sempet kepikiran juga untuk punya rumah dan bekerja di sini.

Pandangan Lucky tentang kami (orang Bali) yang terbuai zona nyaman?
Mungkin ya, mas. Mereka sudah terbiasa.
Beda dengan orang lokal dan bule, mereka tidak mendapatkan kenyamanan di sini (Bali).
Seperti saya di Jakarta, terbuai kemacetan. Jadi 'nyaman' akan penatnya ibu kota.

Saya liat kesenjangan. Di ibukota gepnya jauh, di sini penyetaraannya baik, jadi kesenjangan kurang.
Mungkin karena seperti mas Esha bilang tadi tentang Tri Hita Karana itu ya?

Tentang Jakarta dan Bali dengan presentasi diri (baca: bisnis) bagaimana, Lucky?
Sebenarnya pembawaan di Jakarta bawa'an dari luar, bukan dari belajar di Jakarta aja.
Seperti kuliah di luar atau kerja di luar. Sehingga lebih mateng, mas.
Mungkin di Bali kreatifitasnya pure, bukan dari pengaruh lain.
Kearifan lokal harus dijaga agar tetep berkembang dari dalam.
Di Jakarta ide mahal karena susah untuk berpikir segar di kota yang semuanya serba ada.
Jadi, saya tidak bisa membandingkan.

Ada pesan untuk teman-teman Bali? Tentang SDM mungkin?
Coba liat ke leluhur lagi deh. Yang telah jaga Bali dengan sangat baik.
Hargai budaya sendiri. Soalnya, jangan sampai banyak wacana akan satu hal, tapi tidak jalan.

Oh iya, coba berinteraksi dengan orang lain (luar) juga. Itu penting banget.

Ada ide yang didapat dari Bali, Lucky?
Harusnya saya ke Ubud sebelum Tugas Akhir di kampus, mas. Hehehe
Semoga sih bisa ngembangin itu (rasa harmonis) ke ibukota. 

Oh iya, ada satu hal yang menarik: di kota, kebanyakan orang ketika makan harus di tempat yang mahal dan bagus, jadi kebanyakan nggak ngerasain nyamannya makan.
Beda dengan Bali, orang nyaman makannya.
Itu yang ingin saya bagi ke kota. Kaya di majalah Masbrooo itu loh, mas.

Itu saja?
Lestari'in Bali.
Walaupun perkembangan teknologi semakin pesat, semoga makin lestari.
Biar orang yang penat di kota, pengen ngerasain pulang lagi di Bali.
Jangan sampai Bali seperti tempat lain.

Saya sempat mikir, kalau ke Bali 30 tahun lagi, dan suasanany yang tidak rumah lagi.
Saya tidak akan ke Bali lagi.

Satu kalimat: Bali itu seimbang dalam natural.

Demikian bincang kami malam itu di Sanur sebelum Lucky berangkat ke Nusa Lembongan untuk eksplor Bali sesungguhnya. Terima kasih selayang pandangnya. Akan saya simpan untuk blueprint yang kami rancang.

 Thank you, Lucky!


Best regards,

Ésha Satrya

No comments:

Post a Comment