Thursday 9 December 2010

Farewell, Jojo.


Seperti biasa, kalau saya lagi sedih. Ability untuk menunagkan segala flashback + perasaan kedalam tulisan. Kali ini, tulisan ini tentang sahabat kami, Jojo our buddy. :’)

Lima setengah tahun lalu, saya berkunjung ke daerah pedalaman Sidakarya, Denpasar. Disana kami menuju rumah seseorang yang dipercaya memiliki prophecy. Rumahnya sederhana, saya pun duduk di atas bangku reot tepat disebelah pintunya.

Beberapa menit kemudian saya melihat anak anjing kecil sedang seliweran di depan kami. Tampangnya kecil, kampungan, mukanya lucu--aneh. Tanpa berpikir panjang, saya panggil: “Woe!”. Dia pun berhenti di depan saya dan mulai menggoyangkan pinggulnya. Hey? Ramah sekali buddy satu ini. Ketika kami berpamitan, sang pemilik rumah Kak Angku (begitu saya memanggil beliau) memberikan anjing hitam kampungan itu untuk saya. Ya, untuk saya.

Jojo. Itulah nama yang kami berikan. Sifatnya bandel, liar, penurut dan humble. Suka nyuri makanan, suka bunuhin tikus, kodok, ular, dan kadang kucing, dan yang paling menyebalkan: suka manjat tembok untuk kabur dari rumah.
Saya dan Jojo suka bermain Gladiator, dimana kami saling menundukan kepala dari kejauhan dan siap membenturkan kepala. Di tahun 2006, saya menginjak pendidikan di Universitas. Teman-temanpun suka kerumah. Saya paling ingat Abe, Goky, JX dan Pak De paling suka bermain dengan Jojo. Mainnya? Smack Down kalo nggak main bungkus-bungkusan. Iya, sangat absurd. Pernah suatu hari dia hilang selama satu bulan. Dan kembali dengan keadaan selamat. Bikin kami panik to the max.


Namun, di tahun 2009, badan Jojo mulai mengecil dan melemah. Tujuh orang dokter tidak ada  yang bisa menyembuhkannya. Diagnosa? Semua bilang ada masalah di perut. Kamipun putus asa dan berusaha merawat Jojo. Hampir selama setahun itu dia berusaha terlihat sehat. Kamipun agak tenang. Namun, kemarin ia terlihat lemas. Hingga harus saya rangkul ke dalam rumah.

Tadi pagi, saya terbangun. Paling telat diantara yang lain. Sayapun melihat dia tertidur lemas. Air matanya terus menetes. Saya sudah pasrah dan terus mengelusnya. Beberapa menit kemudian sehabat saya meninggalkan saya untuk selama-lamanya. Dia hanya menunggu saya terbangun dari tempat tidur....untuk berpamitan.
Bye, buddy


Betapa akan rindunya disaat mama membuka pintu dan kalian membangunkan saya dengan jilatan diwajah, akan merindukan pagi ketika sarapan tanganmu menyentuh paha kami pertanda kamu ingin sepotong roti itu, akan sangat merindukan disaat harus memberi kamu makan dan akan sangat merindukan disaat petir menyambar dan kamu menggetok pintu kamar untuk minta perlindungan.
I’m going to miss you so bad.
:’((


No comments:

Post a Comment