Saturday 2 March 2019

Akar

Tulisan ini saya tulis ditemani "Harmony Hall" dari Vampire Weekend.
Tulisan yang sebenarnya sudah lama ingin saya tulis.
Tulisan tentang sosok cuek, mandiri, dan kuat.
Sosok yang mewakili ego kami semua.
Termasuk saya.



Tidak terlalu banyak kenangan yang saya rekam ketika bersama almarhum.
Kecuali waktu beliau marah ke adik saya di suatu pagi sehingga saya agak kesal dengan beliau.
Maklum ketika itu saya masih seorang anak kecil.
Tahun berganti, saya masih tidak begitu mengenal sosok cuek beliau.
Sampai suatu malam di rumah sakit yang membuat saya mulai mengenali beliau.

Saya sendiri besar di bawah asuhan adik kandung beliau yang adalah nenek saya.
Hubungan di rumah unik — deskripsi singkatnya adalah jarak yang membentang dalam keluarga.
Kembali lagi ke sosok beliau — orangnya kuat, cuek, dan mandiri.
Setidaknya itu yang saya tarik kesimpulan dari pengalaman saya.

Tahun berganti, orangtua juga menua — satu hal yang lambat saya sadari.
Begitu juga dengan beliau, kondisi kesehatan pelan-pelan menurun.
Sudah beberapa kali harus dirawat inap di Rumah Sakit.
Ingatan beliau kini mulai menurun, beliau sering berhalusinasi di kamar yang membuat kami ketakutan — pertanda akan meninggalkan kami.

Hingga suatu malam kesehatan beliau membaik.
"Antar kak keliling rumah sakit.", dasar saya yang tidak pernah bilang "tidak" pun menuruti keinginan beliau.
Malam itu kami berkeliling lantai 3, beliau berjalan, saya menggandeng infus.
Tiba di post suster, beliau mengira para suster yang berjaga malam itu adalah siswi sekolah keperawatan.
Masing-masing diberi bekal berupa uang oleh almarhum, saya kaget, begitu pula dengan 3 suster yang berjaga.
Kejadian itu kami akhiri dengan senyuman, karena bukan hal yang memalukan.

Tiba di kamar, beliau mulai bercerita beberapa hal yang tidak akan pernah saya harapkan.
Untuk pertama kalinya saya mulai mengenal beliau dan mengenal sosok bapak saya yang sering saya ajak debat.
Keluh kesah dan rasa sesal beliau saya rekam di iPhone 4 saya yang kini handphone saya itu menjadi almarhum.
Malam itu mata saya agak perih menahan air mata agar tidak mengalir.
Yang jelas malam itu, ada kelegaan.

Beliau sehat, melihat banyak hal.
Pernikahan cucu-cucunya, hingga bertemu kumpi-kumpi-nya, salah satunya adalah Damar.
Suatu siang beliau memberi saya 3 buku usang yang kini masih saya simpan.
Buku aksara cina, buku anatomi burung tropis, dan 1 buku cerpen yang enggan saya baca.
Sejak itu saya ingin menulis "Father's Day" di blog ini, namun enggak karena terlalu sibuk pecicilan sana-sini.

2019, beliau masuk ICCU. Beliau kesusahan bernafas.
Sempat saya datang menemani di ICCU, lagi-lagi beliau bergumam saru.
Dan lagi-lagi menyebut kisah bapak dan beberapa keluh sesal beliau.
"Iya, kak." sahut saya menimpali setengah berjanji membayar sesal beliau.
Tanpa sadar tangan beliau menggemgam tangan saya.


Selasa pagi saya baru pulang dari Munggu setelah berusaha mengumpulkan mood untuk bekerja dengan mengasingkan diri.
Bapak dan mamak diskusi tentang upacara, dilanjutkan kata "sebel".
"kenapa?" tanya saya.
Beliau menutup usia di usia 92 tahun dengan tenang.


Entah kenapa hanya pernikahan dan kematian yang mempersatukan kami yang terpisah jarak dan waktu.
Beberapa hari kami habiskan di rumah. Tidur melantai bukan masalah bagi saya.
Saya sudah biasa tidur di Pasar Pemedilan dan ditinggal teman-teman anjing terkasih saya.
Tidak ada keluh, pandangan berbeda yang saya lihat dengan dulu.
Entah, mungkin karena kami mulai menua, tidak ada waktu lebih untuk berdebat — walau ada.

Senja itu kami berjalan menuju kuburan.
Disebut upacara Nyilid, kami berjalan ketika matahari mulai terbenam.
Mengantar raga beliau untuk terakhir kalinya.


Akhirnya bisa mengenal diri sendiri lewat beliau.
Terima kasih banyak, Kak.

Kind regards,
Ésha Satrya.

No comments:

Post a Comment