Di rumah ini, pernah dihuni dua orang pria yang tidak pernah untuk mengutarakan kasih sayang mereka. Belakangan aku sering mengutuk kakek atas jarak yang terbentang antara kami. Namun, apa boleh buat, sudah lewat. Kini kami berdamai dengan cara hidup tadi, satu-satunya cara hidup yang kami ketahui selama ini.
Perlahan, mental kami membaik, walau dengan cara yang berbeda, perlahan, mode bertahan diri itu kami lepaskan.
Lewat ajaran Miranda Rumi, aku banyak panen rasa cinta terpupuk yang kutemui di luar sana. Bapak, selain dari Pak Merta Ada, dapat banyak cinta dari cucu pertamanya, Tumi. Walau fase ini datang terlambat, perlahan kami membuka hati bagaimana berkenalan dengan kasih sayang.
Di waktu yang tersisa, kami membuka diri tentang hal yang kami lalui.
Perubahan memang tidak banyak, namun dengungan bising itu mulai reda, berubah menjadi rasa tenggang rasa yang sunyi. Diri ini terbuai, percaya bahwa kebahagiaan ini akan tinggal lebih lama. Sebuah bahagia yang bisa kubagi, untuk menghangatkan rumah yang sempat terasa dingin.
![]() |
Badan bapak sudah tidak sekuat dulu. Beberapa kali ia harus akrab dengan rumah sakit. Segala cara kami tempuh, hanya agar Bapak bisa tetap bersama kami lebih lama.
Apa daya, mode bertahan itu masih melekat. Di balik diam kami, kepala dipenuhi cemas yang riuh. Sementara dalam diamnya, Bapak tetap berusaha terlihat sehat, meski terlalu sering bandel pada pantangan dokter. Malam itu, Bapak terjaga. Jantung mulai berulah, meski tampak ringan.
Pukul 05:14 pagi, menurut smartwatch, terdengar suara dari kamar mandi.
Bapak terbaring di lantai, tubuhnya kaku. Bersama mama, kami bahkan tak sempat menangis di antara waktu yang melintas cepat.
Ku panggil ambulans freelance untuk segera membawa bapak ke UGD.
Sebelum berangkat, Bli Angga sempat menjabat tanganku erat, lalu berpamitan menuju rumah sakit.
Tak lama kemudian, telepon masuk. Masih menggantung harap ada kabar baik.
Namun yang kuterima justru kabar untuk menyiapkan surat kematian…
Hari-hari persiapan upacara ngaben kulewati tanpa nafsu makan, tanpa sempat memikirkan tidur yang nyaman.
Yang ada hanya keinginan agar semua rangkaian segera selesai, supaya bisa kembali ke rumah, ke keadaan seperti biasa.
Yang ada hanya keinginan agar semua rangkaian segera selesai, supaya bisa kembali ke rumah, ke keadaan seperti biasa.
Banyak tangan menepuk pundakku, banyak do'a terucap agar aku tetap tabah.
Namun emosiku datar. Hingga beberapa saat sebelum jenazah dibakar, air mata itu akhirnya pecah melihat perempuan-perempuan kesayanganku sudah tenggelam dalam tangis.
Tangan Made menepuk punggungku. Saat itu juga, air mataku kian deras, tak terbendung lagi.
Namun emosiku datar. Hingga beberapa saat sebelum jenazah dibakar, air mata itu akhirnya pecah melihat perempuan-perempuan kesayanganku sudah tenggelam dalam tangis.
Tangan Made menepuk punggungku. Saat itu juga, air mataku kian deras, tak terbendung lagi.
Karena komunikasi lisan kami tidak pernah dekat, maka lewat tulisan ini Putu tulis rasa sayang kita yang sunyi. Selamat ulang tahun, pak. Semoga jalan kita semua diringankan.
Salam,
Ésha Satrya
😘❤️
ReplyDelete