Thursday 26 March 2020

2010

Suatu siang,
kampus dihebohkan karena dihubungi oleh salah studio desain nasional yang berbasis di Bali.
3 mahasiswanya diterima untuk menimba ilmu di sana.
"Mohon dibimbing anak didik kami di sana" kata Pak Olih.
3 mahasiswa itu adalah Agung Witara, Wayan Sanjaya Adi Putra, dan Ésha Satrya.
Di sini, kisah 3 anak ini dimulai.
Di bawah bimbingan beliau.


Meja meeting tempat beliau bekerja sekaligus tempat kami dimarah setiap hari Senin dan Jum'at.




"Kang, saya mau magang di sana ya." — tanya Gung WS
lama sebelum kami memutuskan untuk memilih magang di Matamera.
"Yakin kamu?" — jawab beliau. Dengan nada horror.

Senin pagi langkah kami begitu berat, begitupun hal yang sama kami rasakan pada Jum'at sore.
Ilmu kami tidak seberapa, mental kami yang (mungkin) luar biasa.
Ingat sekali waktu itu ditanya beliau dan Pak Jaya perihal tugas yang kami kerjakan, beribu bahasa terucap untuk membela diri dengan mengarang indah tanpa ada riset.
Bekerja dari pagi hingga pagi pernah kami lalui.
Selama 3 bulan kulit tidak tersentuh sinar matahari.
Ratusan kesalahan telah kami lalui.
Dan kami tidak pernah mengeluh tentang hari itu sampai detik ini.

2011, akhirnya lulus kuliah.
Singkat cerita, saya secara tidak sengaja banyak terlibat di proyek bimbingan beliau — anggap extended version dari magang.
Bertahun-tahun saya belajar untuk berpikir lebih dalam, dan melihat lebih lebar,
kalau memberi laporan desain, setidaknya sudah bisa dipertanggung-jawabkan.
Kalaupun salah, ya diperbaiki dengan akal dan komunikasi.
Di sini critical thinking saya berkembang pesat.
Saking pesatnya sering jadi overthinking.
Dan dalam bimbingan beliau, saya banyak bertemu orang-orang hebat yang di mana kesempatan ini tidak dimiliki banyak orang.

Bertemu dengan Farid Stevy, kenal dengan alm. Pak Rai, bertemu makhluk ajaib bernama Sakti Soediro, ditelepon oleh David Karto waktu kencan untuk mengambil keputusan riskan, diingat oleh Ryan Adriandhy, mengantar Vincent Moon yang kelaparan untuk membeli Beng Beng, menenangkan Angga Sasongko yang marah ke bli Sugi Lanus, dikenalkan dengan Pak Yoka Sara, ditemukan dengan seorang wanita yang kosa-kata Indonesianya tidak banyak bernama Bernice Helena, hingga bertemu banyak teman-teman baru dari berbagai profesi, kultur, dan umur di umur saya yang masih muda.



Di umur yang masih muda, jiwapun bergejolak.
Hubungan kami mulai goyah karena kesalahpahaman dan kepentingan lainnya.
Di sini saya mulai dari awal, bukan dari nol.
Berbekal didikan beliau, saya menghadapi dunia.
Saya melangkah dengan attitude ini tanpa ada yang harus tahu kalau saya babak-belur.
Hari berganti, tahun berganti, saya berkembang jauh.
Tidak lagi menjadi anak gagap yang tidak berani mengemukakan ide di depan umum
bahkan menjadi orang yang terlalu vulgar dalam berpendapat jika melihat suatu kesalahan.
Tidak lagi menjadi anak kurus kurang gizi yang resah akan masa depan.
kini menjadi orang yang tampil dan tahu bagaimana mengendalikan keadaan.
Kini, setiap langkah mendapat teman— tidak perlu banyak karena maintenance hubungan itu sulit.
Bagai benih, saya dibuang ke mana saja tumbuh.
Menyerap ilmu dari berbagai orang yang juga turut memahat diri ini sampai bisa seperti ini.
Begitupun ketika bertemu kolega dekat beliau yang kini mempercayakan saya sebagai orang yang menangani projeknya.
Semua ini karena bimbingan beliau 10 tahun lalu.



2020, satu dekade kemudian. 
5 tahun sejak berdiri sendiri banyak hal yang saya lewatkan. Banyak.
Saya yang baru pulang olahraga melanjutkan berkarya.
Pesan singkat dari Dina saya terima, bukan pesan yang menyenangkan. Seolah hanya mimpi.
"Pak have you heard the news?" kirim saya ke Pak Yoka. 
"yes, saya sudah di masjid" jawab Pak Yoka.
Malam itu saya langsung ke Masjid setelah kontak dengan Pak Yoka.
Saya merasa terhukum karena belum sempat mengucap maaf dan berterima kasih sebelum beliau pergi.
Malam itu saya peluk Pak Jaya setelah lama tidak bertemu.
"Kayak kehilangan mercusuar ya?" — kata beliau.
Iya, kami semua kehilangan sosok tenang yang menghanyutkan itu.
Malam itu saya kehilangan sosok penting dalam hidup saya, yang membuat saya bisa melangkah sejauh ini. 



"Verily we belong to God, and verily to Him do we return"
Terima kasih atas ilmunya dan mohon maaf atas kesalahan yang pernah saya buat.
Istirahat dengan tenang, Kang.

salam,


Ésha Satrya

No comments:

Post a Comment