Thursday 29 December 2016

Pramudito Siahaan

Sosok Dito saya ketahui 2 tahun lalu ketika saya menyatroni markas SWB.
First impression? Orangnya santai, agak sarkas.
2 tahun kemudian kami bertemu lagi setelah saya bergabung kembali dengan SWB.
Di luar olahraga, saya sering berbicara banyak dengan Dito (dan kawan-kawan).
Kami punya banyak kesamaan: orangnya bold, open minded, damaged, dan tetap: keras.

Dan di tahun ke-4, kali ini saya akan berbincang dengan Dito.
Sesuai tema rubrik ini: Bagaimana Anda Melihat Balimu?
Bersama Gilang dan Agung Dewi yang mendadak muncul, berikut obrolan kami.

Pramudito



Selamat malam, Dito
Selamat malam.
Nama saya Dito, 23 tahun umur saya.
Saya bekerja di salah satu anak perusahaan instansi pemerintah, bukan PNS — BUMN tepatnya, ndak usah disebutkan.

Saya ganteng.

Saya galau.

Yes, selain aktif di instansi, SWB, dan Capoeira. Let’s straight to the point. How do you see your Bali? Dari lingkungan atau potensi?
Firstly, saya akan ngomong ini sebagai orang yang sudah lama di Bali.
Saya besar di Bali. Saya hidup di Bali hampir 3/4 dari hidup saya sampai sekarang — on going, ya. Masih on going.
Saya belum menikahi mantan saya.

…Okay
Saya dari kecil, saya dari TK di sini, saya kuliah di sini, saya kerja di sini, everything happened in my life, is happened in Bali.
Saya orang Batak, marga saya Batak: Siahaan, ibu saya dari Jawa, tapi saya orang Bali.
Jadi, saya self proclaiming — kalau boleh, bahwa saya orang Bali.
Karena Bali adalah hometown saya, saya mencoba pulang ke kampung saya ke Medan sana.
Saya anggota keluarga yang paling terakhir (tiba di Medan), dan yang paling pertama pulang.

…dan secara ndak saya sadar.
Barusan saya bilang “pulang” karena Bali adalah tempat saya pulang.
Bali adalah rumah saya.

What makes you love your Bali?
Keindahan Bali itu nomor 2.
Karena Bali adalah home, home itu adalah tempat di mana kita akan kembali lagi setelah apapun itu.
Bali mem-provide saya dengan segala orang-orangnya yang sebenarnya tidak native-native banget, karena yang native itu Bali Aga.
Karena orang yang saya temui adalah orang yang open minded — saya beruntung.
Yang saya temui adalah yang open minded, bukan orang bodoh.

Saya akan sangat berat meninggalkan Bali karena orang-orangnya.
Despite of sekarang mulai rotten
iya, orang-orangnya.

Ada tambahan?
Ya, saya besar di Bali. Saya punya keterikatan yang erat dari Bali.
Jadi di manapun saya akan proklaim bahwa saya orang Bali. Itu bangganya saya dengan Bali.

What makes you hates Bali?
What makes me hate Bali? Sebenarnya sih… I hate people.

Me too…
Ini sebenarnya tidak khusus di Bali, cuma saya benci orang bodoh, orang yang tidak mau berusaha, jadinya yang membuat saya benci dengan Bali adalah ya… orang bodoh yang entah dari mana aja asalnya itu yang membuat Bali rotten.

Beberapa masih banyak yang belum open minded.
Mohon maaf, saya orang kiri, didikan saya ke kiri.
Jadinya gitu ya… I hate people — Bukan Balinya.
Which is orang-orangnya ada yang dari sini, ada dari luar aja.
Because… people are shit.

Haha! People are shit, go pet a dog. Bertemanlah dengan anjing.
Untung temen-temen saya anjing, not riterally ya…

Trus, apa sih potensi ke depan bali? Entah dari SDM… SDA?
Potensi yang harusnya mulai ditinggalkan — bukan 100%: pariwisata.
We have to looking for the alternative.
Yang paling gampang adalah: SDM.
Sorry to say: SDM Bali masih shit.

Setuju!
Ya karena itu, belum open minded.
Susah menerima perubahan, susah menerima sesuatu yang Bali.
Okay kita punya tradisi… Okay. Cuma world doesnt’ revolved around us, tapi kita yang menyesuaikan.
Jadinya, kalau tidak bisa menerima perubahan? Mati.

Sorry to say, saya tidak maaf sih.
Cuma yang bilang kita punya tradisi, tapi sukanya musik barat.

Setuju. Kemarin sempat baca juga ada yang ngetwit… Daripada aku salah ngomong, nanti aku liatin twitnya.
Makanya saran saya — ini quote dari teman saya yang cerdas: lu kalo mau make, make itu weed. Biar lu slow, men.
Kalo lo pake LSD, pake yang lain lu itu halu~ 

Hahahaha! NICE!
Itu quote teman saya. Bukan saya.

Nice! Harapan ke depan untuk Bali? Bali in the future.
Ini saya suka. Kelemahan dari Bali adalah… beberapa masih closed minded.
Kalian bisa kok seperti Eropa, tapi masih mempertahankan Indonesia kalian.
Santai, tenang. Ndak usah anti-antian. Be open minded.
Menilik ke sejarah (yang benar). Harus bisa menerima perubahan, mengakui kekurangan kita.

Yang saya garis bawahi ‘open minded’ tadi…

…tolong orang tua mantan saya…

Be open minded! Please!

Ini boleh ditulis ga sih?
Boleh. Boleh disebarluaskan

Satu pertanyaan lagi. Bagaimana pendapat anda tentang orang yang tidak baca buku. Apakah penting? TENTU PENTING! Pertanyaan bodoh.
Hidup itu pilihan. Anda mau baca buku, mau tidak — itu pilihan.
Tapi kalau tidak baca buku, ya anda lost.
Buku itu penting, karena tidak baca buku — kamu itu goblok.
Karena kuncinya open minded ya baca buku.

Bingung mau mulai dari mana?
Baca apa aja. Majalah… apa aja.

Last words?
Okay, Bali is my hometown.
Saya self proclaiming: I am a Balinese.
Saya bangga sama Bali. Jangan bikin kecewa Pulau ini.
Be open minded.

Saya ingin balikan, dan saya akan menikahi kamu.

Join SWB atau Capoeira mungkin?
Kalau kalian bosan dengan hidup, daripada bunuh diri.
Mendingan ikut SWB, make a good circle, daripada pakai narkoba, nanti jadi halu.
Mending ikut SWB, komunitas besar di Bali — sampai sekarang belum pecah.
Kita hore-hore! Tidak tegang.

Kalau Zungu?
Itu harus bayar sih…

50.000 per datang ya?
350.000 bulan.

Sebelum naik lagi, halo Mas Noko!
Halo Mas Noko! Gratis kek.

Pramudito

Baiklah terima kasih, Dito. Sampai jumpa tahun depan!

1 comment:

  1. interviewnya gaya esha bgt btw, salam kenal bung dito!

    ReplyDelete