Thursday 28 July 2022

10-34

Setengah tahun dari 2022 berjalan, ada lagi rintangan yang harus dihadapi.
Kemudian distraksi berupa rasa rindu pun datang.

Distraksi dalam artian baik yang membuat dada saya bergemuruh.

Sapaan pagi Nina ke Ogik di masa kuliah masih melekat di kepala ini. 
Hampir 10 tahun berlalu, dari yang senyum paling lebar, sekarang saya jadi paling dingin banyak nahan emosi.

Ternyata, banyak kisah yang telah saya lewati sendiri hingga sampai di titik ini.
(ternyata) saya banyak kehilangan …dan saya sangat merindukannya.




Pertengahan tahun, optimisme untuk membuat sesuatu yang baik di masa depan agak redup (tapi tidak padam)
Di balik riuhnya isi kepala akan ambisi yang membara,
perlahan diingatkan untuk bernafas sekejap.
Di era media sosial yang riuh dan pencitraan saya yang telanjur buruk,
setidaknya saya memiliki sahabat yang mengerti saya.

Mereka yang melihat saya yang ceria,
berkembang menjadi sangat dingin (tapi masih baik hati—ini kata Debol).


Adalah kabar pernikahan sahabat, berbagi kisah rumah tangga,
keluh meniti karir yang ternyata tidak semudah kisah televisi,
atau silaturahmi teman lama membuat saya lebih hidup… lebih… manusia.
Akumulasi dari kembali mengenal diri ini membuat ulang tahun saya kali ini menjadi lebih baik.


"Mereka tidak lupa saya"


"Oh, ternyata semua orang pantas diberi kesempatan kedua"


"Pelan-pelan. Dinikmati, nanti bosan"


"Bersyukur, ini rejekimu"


"Kamu beruntung, banyak yang percaya dan sayang kamu."

Tiada sangka menjadi orang yang pahit adalah bagian dari pembangunan karakter saya, (percayalah, ini bukan hal yang saya pinta)
…setidaknya ada pengembangan karakter di tahun ini.
Tahun depan lebih baik.
Ya, rasa optimis itu tidak pernah hilang dari diri ini.

Rasa kecewa yang membuat saya pahit melihat hidup, perlahan dimaniskan.
Ekspektasi naif 10 tahun lalu untuk hidup mengubah dunia menjadi lebih baik
ternyata terlalu tinggi.
Saat jatuh malah melukai diri.
Maklum, tiada yang mengajarkan saya untuk menghadapi dunia.

Mengingat kata Mas Rifky dan Evelyn Wang:
"kita manusia sama lelahnya. Jangan terlalu keras ke orang lain".
Kini, hal-hal tersebut membuat saya lebih merunduk.
Pengalaman yang melukai diri ini mengajarkan saya untuk tidak menyakiti orang (baru), 
sebagaimana pengalaman diperlakukan tidak baik oleh mereka yang hilang arah.

Dari pada fokus ke orang lain,
bagaimana kalau mencintai diri sendiri dulu?
Setidaknya, agar tidak ada yang perlu khawatir ke saya.

Sejauh ini, saya banyak menemukan orang-orang baru yang membuat saya belajar menjadi lebih baik.
Mereka tidak mendengarkan Feist atau Saosin seperti masa kami kuliah dulu,
mereka masih mendengarkan top 40 Indonesia melayu (yang dulu kami benci),
tapi, mereka orang-orang yang baik.
Sebuah esensi yang tidak perlu dicari salahnya.

Terima kasih untuk tahun-tahun yang selalu menyenangkan!


Satrya