Tuesday 10 November 2015

Rai Pendet

Suatu senja kami tidak sengaja bertemu di markas kami: Mangsi Coffee.
Perkenalkan, sahabat saya Rai Pendet, seorang filmmaker yang berhasil mencuri perhatian.
Gagasan, dan karya Rai bukan main bagusnya.

Setelah pulang dari Cina dan menyabet penghargaan, minggu ini Rai tiba di Bali untuk pulang kampung.
Break time? Not really.
Ada projek asik untuk tahun depan. Apa itu? Nanti dibahas deh.
Kini waktunya untuk menyimak diskusi di rubrik interview yang muncul hanya setahun sekali.

Rai



Halo, Rai apa kabar?
Kabar baik, kak Ésya.

Wahahahahaha. Bagaimana kabar Kuala Lumpur?
Panas. Di Ubud dingin.

Kapan balik ke Bali nih?
Baru minggu lalu balik. Mudah-mudahan Januari bisa kelar (S2).

Svaha

Please introduce yourself ke audience, Rai.
Mau tak kasih CVku?

Ndak makasi.
Saya Made Rai Budaya, lebih dikenal dengan Rai Pendet.
Saya dari Ubud. Suka bikin film dari SMA, awalnya suka foto-foto.
Tapi, jadi suka bikin film gara-gara nonton 'Catatan Akhir Sekolah', akhirnya bikin film GKS Smansa, dan akhirnya keterusan.
Awalnya pengen masuk arsitek (samak!!) akhirnya sempat ikut arsitek dan ndak lulus.
Kemudian disuruh coba masuk sekolah televisi sama bapak.
Akhirnya 2009, masuk ISI Jogja, dan setahun menetap di Jogja.

(menyimak)
Menetap sejak September 2009, pulang ke Bali pada akhir Agustus 2010.
Sampai sajuh ini kirain diri ini udah hebat bikin film, ternyata saya belum bisa bikin film.
Lanjut jadi tukang gulung kabel, bantu-bantuin bikin film.
Pertama kali jadi bikin asisten kamera, masang tripod, dan akhirnya banyak belajar di sana.
Sampai akhirnya, suka bikin tata artistik, dan kemudian jadi art-director dan menelurkan 'Aksara Cinta' (2010) di Temanggung, Jawa Tengah.
Lama syuting seminggu, dan pada momen pergantian tahun baru ke 2010 saya masih megang lampu.
Dan malam itu merubah pola pikir saya menjadi seorang sineas yang totalitas.
Akhirnya film itu menang di Ganesha Film Festival, Bandung (2011).

(applause)
Asik. Keren. Salut. Sujud. Trus, menurut Rai potensi Bali ke depan gimana?
Menurut saya yang masih muda, saya yang sebagai pengamat, dan tidak berani banyak komentar.
Kayaknya 2 sampai 3 tahun ke depan akan bagus.
Tinggal difasilitasi ke depan saja (seperti film screening, dll).
Tapi dalam perkembangan, sudah jauh karena tools yang sangat mudah didapat.
Bahkan ide untuk dapet film aja bisa ditemukan di depan rumah.
Karena film harus ada pesan yang dibawa.
Kalo saya sih ingin temen-temen di Bali bikin film di Bali pake bahasa Bali lah.

Ngomong-ngomong tentang film berbahasa Bali, boleh cerita tentang 'Tarian Bumi'?
Ide ini awalnya muncul di tahun 2011.
Berawal dari nongkrong di kampus dengan teman-teman, trus dapet tugas bikin naskah film dari novel.
Tarian Bumi diambil dari novel yang dibaca teman di depan saya.
Dan… waktu itu tidak boleh dipinjem. Sempat tidak kepikiran lagi buat Tarian Bumi.
Akhirnya… ya Google.
Setelah dibaca akhirnya paham dan "saya harus bikin film dari novel ini!".
Kemudian ide diendapkan beberapa bulan.
Akhirnya bikin treatment cerita karena konten film ini sangat padat dan harus dituangkan dalam 30 menit aja.

Trus?
Setelah diskusi bareng temen akhirnya dibikin draft Mei 2012, naskah pertama berisi 36 scene.
Kemudian saya pulang ke Bali dan bertemu penulis novelnya sendiri: Oka Rusmini.
Atas bantuan bapak, dan paman akhirnya kami bertemu dengan ibu  yang sangat welcome sekali.
Akhirnya 20-24% dari film itu dibikin setelah pulang dari Jogja di naskah (draft 7) dan sudah berbahasa Bali, dan 26 scene.

(masih menyimak)
Mengumpulkan tim produksi, bertemu dengan teman yang cocok.
Akhirnya ketemu tim solid yang dulu saya bantu di awal karir saya.
Akhirnya, pulang ke Bali, hunting lokasi (Agustus — Oktober 2012), Oktober 2012 tim kecil mulai test cam.
Shoot hanya 4 hari, full day, November syuting selesai.
Sampai proses editing (termasuk bikin soundtrack) selesai April 2013, dan finished semua di Juni 2013.
Kemudian screening di Jogja.

Kalau pengalaman seru?
Set yang sudah pas, tiba-tiba hujan di lokasi itu saja.
Akhirnya putar otak untuk syuting scene lainnya.
Untungnya banyak temen-temen yang mau membantu dengan sukarela.
Kalo pengalaman syuting yang menarik itu di hari ke-5: hanya 1 scene.
Syuting adegan Rangda Leak. Harus prepare skala niskala.

Persiapan skala niskala?
Nunas paica, ngatur piuning.
Pemahaman kita sebagai orang Bali, harus minta izin ke semesta.

dan kemudian screening?
Iya, di LIP Jogja, prepare screening ndak sampai seminggu.
Dan hanya menyediakan 300 seats.
Screening pun sore banget, takut akan kekurangan penonton.
Eh, yang datang lebih dari 500 orang.

(tepuk tangan)
Bersyukur banget antusias penonton gede banget.
Setelah itu, 2 minggu kemudian kami diundang Indische Wall, Jogja dan dianugrahin ‘Best Film’ dan ‘Best Audience Choice’.
Kemudian ‘Special Screening’ di Bentara Budaya International Film Festival 2013.
Official selection di Jogja Film School punya Iva Ivansya.
Di Anugerah Film Indonesia, dan akhirnya pulang kampung di 2014 di Ubud Writes and Readers Festival.
Tapi posisi sudah di Kuala Lumpur.

Kalau menurut Rai, potensi kita sebagai orang lokal diasah di Kuala Lumpur bagaimana?
Lebih terbuka.
Ketika penggarapan ‘Tarian Bumi’ lebih fokus ke art.
Tidak berpikir untuk mencari uang untuk bikin film.
Apa pun yang kreatif kita harus memiliki jiwa entrepreneurship dalam membuat karya.

Well noted! Setuju!
Sekarang saya sudah dalam proses bikin film.
Masih tentang Bali dengan rasa Bali dengan temen-temen baru, cara yang baru.
Bagaimana caranya mempersiapkan segala aspek, selain teknis dan kreatif, tentu ada aspek dananya.

Nah, kalau inspirasi dalam berkarya bagaimana, Rai?
Bapak saya dan kakek saya.
Terus Garin Nugroho, dan Nyoman Nuarta.
Kalo dari luar? Wong Kar Wai, dan Martin Scorsese.

Ada masukan untuk temen-temen di Bali?
Semakin banyak buat film semakin bagus.
Mulai membaca buku tentang budayamu sendiri, mulai lebih jeli melihat hal-hal yang terjadi sekitar.
Bali banyak menginspirasi dunia, kenapa Bali tidak mampu menginspirasi anak-anaknya sendiri yang terlalu sibuk akan globalisasi, tapi aspek kelokalan mulai tertinggal.

Wajahahahaha!
Suksma, Rai!

Sampai ketemu lagi!

No comments:

Post a Comment